Jakarta, CNN Indonesia — Kementerian ESDM buka-bukaan soal dampak penerapan kebijakan pajak karbon bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara mulai 1 April 2022 mendatang terhadap tarif listrik bagi masyarakat.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana memastikan pajak tak serta membuat tarif listrik jadi naik atau mahal. Sebab, pemerintah baru menerapkan kebijakan ini secara terbatas dan tarif yang rendah.
“Tetapi yang selalu kita pegang, kita jagain adalah affordability is a must, tidak boleh itu dikorbankan. Misal mau lakukan pasar karbon tapi ujung-ujungnya masyarakat mendapat dampaknya berupa kenaikan tarif listrik, kami menghindari itu,” ujar Rida dalam pertemuan dengan media, Senin (29/11).
Ia menambahkan pada tahap awal implementasi, pemerintah hanya mengenakan tarif Rp30 per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) bagi PLTU batu bara. Sementara untuk mekanisme, pajak baru dipungut apabila jumlah emisi yang dihasilkan melebihi batas emisi (cap) yang telah ditetapkan atau dikenal dengan istilah cap and tax.
Pemerintah, sambungnya, belum menerapkan skema pungutan pajak yang lebih luas melalui perdagangan atau bursa karbon atau dikenal dengan istilah cap and trade. Dengan begitu, penerapan masih sangat terbatas dan diperkirakan minim dampak ke masyarakat.
Mekanisme penerapan ini berbeda dengan negara-negara lain di dunia yang sudah mulai menetapkan tarif karbonnya. Menurut catatannya, tarif karbon tertinggi ada di Swedia mencapai US$137 per ton CO2.
Lalu, diikuti Swiss sekitar US$101 per ton CO2. Sedangkan yang terendah ada di Polandia dan Ukraina, yaitu kurang dari US$1 per ton CO2.
Tapi, mayoritas harga karbon masih berada di bawah rentang US$40 sampai US$80 per ton CO2. Ia mencatat hanya 3,76 persen dari emisi global yang memiliki harga sama dengan atau lebih dari US$40 sampai US$80 per ton CO2.
“Negara-negara Uni Eropa dan Amerika Utara termasuk yang sangat ambisius dengan menerapkan harga karbon yang tinggi,” katanya.
Di sisi lain, Rida turut memberi gambaran bahwa pemerintah telah melakukan uji coba perdagangan karbon di Indonesia pada tahun ini. Uji coba dilakukan kepada 32 unit PLTU batu bara.
Dari uji coba tersebut, terdapat 28 transaksi karbon dengan nilai mencapai 42.455,42 ton CO2 dengan harga rata-rata US$2 per ton CO2. Atas transaksi itu, maka keperluan biaya uji coba mencapai Rp1,54 miliar.
Terdiri dari Rp1,22 miliar dana sebagai insentif bagi perusahaan yang kadar emisinya di bawah cap dan Rp236 juta untuk perusahaan yang sudah memiliki pembangkit energi baru terbarukan (EBT). Artinya, tak semua PLTU pada akhirnya diberikan pungutan pajak karena nyatanya masih banyak yang berada di bawah cap atau batas.
Simulasi Pajak Karbon
Rida turut memberi gambaran bila pemerintah nantinya bisa meningkatkan mekanisme pungutan pajak karbon dari cap and tax ke cap and trade. Misalnya, ada pembangkit listrik dengan kapasitas 800 MW dengan produksi 6,1 juta MWh dan cap yang ditetapkan 0,981.
Maka, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan sekitar 5,8 juta ton CO2. Dari perhitungan ini, pembangkit tersebut mengalami defisit karbon sekitar 200,2 ribu ton CO2.
Selanjutnya misal harga karbon yang nanti digunakan sesuai rata-rata dunia sekitar US$2 per ton CO2, maka total transaksi pajak karbonnya senilai US$400,4 ribu atau setara Rp5,73 miliar (kurs Rp14.335 per dolar AS).
Namun, bila pembangkit tersebut hanya bisa melakukan trading and offset dengan batas 100,2 ribu ton CO2, maka defisit emisinya hanya sebesar 100 ribu ton CO2, maka yang dikenakan pajak hanya sebesar itu atau sama dengan Rp2,86 miliar.
Kendati begitu, ia mengingatkan bahwa mekanisme yang sekarang berlaku masih cap and tax, belum cap and trade.
(agt/agt)