Jakarta, CNBC Indonesia – Komisi VII DPR RI menilai pembagian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada Ormas Keagamaan harus dilakukan secara hati-hati. Sebab pengelolaan tambang memerlukan investasi yang cukup besar.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno menilai masuknya Ormas Keagamaan dalam pengelolaan tambang di dalam negeri tidak terlalu signifikan bagi penerimaan negara. Apalagi luasan lahan yang akan dibagikan dari penciutan lahan bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) totalnya sekitar 96 ribu hektar.
“Saya melihat walaupun ada untung di sini, mungkin tidak terlalu signifikan ya, karena lahan yang sekarang ini akan diberikan Eks PKP2B itu kurang lebih luasnya 96.000 hektar dan itu mungkin akan diberikan tidak sekaligus secara luas kepada satu Ormas Keagamaan,” kata Eddy dalam acara Mining Zone CNBC Indonesia, dikutip Jumat (14/6/2024).
Alih-alih mendapat untung besar dari pengelolaan Ormas Keagamaan, pemerintah justru perlu mengantisipasi dampak yang akan ditimbulkan. Sebab ia memandang terdapat risiko yang akan dihadapi jika memang pembagian WIUPK tersebut tanpa melalui proses yang betul-betul menyeluruh.
Misalnya, seperti kajian amdal, kemampuan teknis, pendanaan yang dibutuhkan, pengelolaan tambang secara keseluruhan, dampak yang bisa diberikan secara sosial kepada masyarakat di sekitarnya dan lain-lainnya.
“Itu saya kira harus dipertimbangkan sebagai salah satu tolak ukur sebelum memberikan izin itu. Tambah lagi yang satu yang menurut saya sangat penting. Jangan sampai kemudian Ormas Keagamaan itu justru dijadikan kendaraan tumpangan oleh perusahaan-perusahaan besar dengan menggandeng Ormas keagamaan membentuk perusahaan patungan,” kata Eddy.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan jatah WIUPK yang akan diberikan kepada ormas keagamaan merupakan hasil dari penciutan lahan bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Diantara bekas penciutan lahan tersebut terdapat eks tambang Bakrie Grup hingga milik Boy Thohir.
Setidaknya terdapat 6 pemegang PKP2B generasi pertama yang kontraknya telah berakhir. Diantaranya seperti PT Kendilo Coal Indonesia, PT Arutmin Indonesia, PT Adaro Energi, PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Multi Harapan Utama, PT Kideco Jaya Agung.
“PKP2B yang diciutkan cuma 6. Kalau diciutkan memberikan kesempatan kepada mereka. kalau ditenderkan lagi gak dapat mereka juga, benar gak. Coba deh lihat yang di pesantren bagaimana kehidupannya. Itu yang memang harus menjadi perhatian pemerintah,” kata Arifin di Gedung Ditjen Migas, Kementerian ESDM, dikutip Senin (10/6/2024).
Menurut Arifin, satu ormas yang akan mendapat hak pengelolaan tambang nantinya berasal dari perwakilan satu agama dengan jumlah anggota yang paling besar. Namun yang pasti, ormas tersebut harus telah memiliki badan usaha.
(pgr/pgr)