Jakarta, CNN Indonesia — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat cadangan batu bara Indonesia saat ini mencapai 38,84 miliar ton. Dengan rata-rata produksi batu bara sebesar 600 juta ton per tahun, maka umur cadangan batubara masih 65 tahun apabila tidak ada temuan cadangan baru.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengungkapkan selain cadangan batu bara, masih ada sumber daya batu bara yang tercatat sebesar 143,7 miliar ton. Untuk itu, pemerintah terus mendorong upaya pemanfaatan untuk memberikan kesejahteraan ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
“Batu bara kita masih banyak. Kita punya 65 tahun umur cadangan. Sebagian besar ada di Kalimantan dan Sumatera,” kata Ridwan dalam Webinar “Masa Depan Batubara dalam Bauran Energi Nasional”, Senin (26/7), seperti dikutip dari keterangan resmi.
Ridwan mengungkapkan Kalimantan menyimpan 62,1 persen dari total potensi cadangan dan sumber daya batu bara terbesar di Indonesia, yaitu 88,31 miliar ton sumber daya dan cadangan 25,84 miliar ton. Selanjutnya, wilayah punya potensi tinggi adalah Sumatera dengan 55,08 miliar ton (sumber daya) dan 12,96 miliar ton (cadangan).
Tahun ini, produksi batu bara ditargetkan mencapai 625 juta ton. Dari jumlah tersebut, kebutuhan batu bara dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) ditargetkan dapat mencapai 137,5 juta ton.
Sebagai pembanding, tahun lalu, realisasi produksi batu bara Indonesia 558 juta ton. Sekitar 134 juta ton di antaranya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI), per 26 Juli 2021, realisasi produksi batu bara Indonesia sebesar 328,75 juta ton dengan rincian 96,81 juta ton (realisasi domestik), 161,99 juta ton (realisasi ekspor), dan 52,22 juta ton untuk DMO.
“Saat ini 80 persen batubara untuk pembangkit listrik,” ungkap Ridwan.
Menurut Ridwan, natu bara masih menjadi tumpuan bagi kawasan Asia Pasifik dalam penyediaan energi yang terjangkau dan murah. Kawasan memiliki kapasitas batubara dan pembesar saat ini (76 persen) termasuk rencana pengembangannya (94 persen).
“Sebelum pandemi, Asia Pasifik ini hot spot-nya pertumbuhan ekonomi dunia,” urai Ridwan.
Untuk menekan penurunan emisi gas rumah kaca yang berasal dari sektor energi, Kementerian ESDM mencari terobosan baru melalui penggunaan teknologi berbasis energi bersih. Hal ini diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan batubara di Indonesia.
“Salah satu upaya Pemerintah saat ini adalah mendorong agar batu bara dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan lingkungan. Kita selalu berusaha menggunakan teknologi batu bara dengan cara yang lebih bersih,” tegas Ridwan.
Misalnya, teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) yang diyakini akan mengurangi emisi karbondioksida (CO2) akibat pembakaran batu bara.
“Berdasarkan studi PLN dan World Bank tahun 2015, CCUS secara teknis layak untuk dikembangkan di Indonesia,” terangnya.
Ridwan mengakui dari total 1.262 Giga Ton emisi CO2 yang dihasilkan di Indonesia, sebanyak 35 persen berasal dari pembangkit listrik batubara. “Di sisi lain, ini bisa menjadi potensi Indonesia memproduksi metanol,” ungkap Ridwan.
Kendati demikian, ada dua tantangan yang tengah dihadapi dalam, yaitu penguasaan teknologi dan menciptakan skala keekonomian. “Tantangan ini besar sekali sehingga berbagai proyek hilirisasi batu bara yang sudah dicanangkan belum sesuai ekspektasi,” jelasnya.