Jakarta, CNN Indonesia — Organisasi nirlaba di bidang pertambangan Asia Tenggara, Transforming Energy and Development (Trend Asia), mendesak pemerintah untuk terbuka mengenai informasi detail kontrak pertambangan di Indonesia.
Perwakilan Trend Asia Ahmad Ashov mengatakan desakan itu terkait dengan Hari Hak untuk Tahu sedunia (The International Right To Know Day-RTKD) yang jatuh pada 28 September.
“Mendesak pemerintah membuka data terkait kontrak raksasa pertambangan dan detail dari proses evaluasi. Indonesia sebenarnya sudah tergabung mendukung Hari Hak untuk Tahu Sedunia. Dengan titik berat informasi itu berkaitan dengan hajat hidup orang banyak harusnya ditunaikan oleh pemerintah,” kata Ashov dalam sebuah webinar, Minggu (27/9).
Ashov mengatakan pemerintah pada tahun lalu kerap memudahkan perpanjangan izin kontrak perusahan tambang, khususnya batu bara. Di sisi lain, pemerintah bersama DPR mengebut pembahasan revisi UU Minerba dan Omnibus Law Cipta Kerja.
“Di dalamnya terdapat banyak keistimewaan bagi perusahaan tambang,” ujarnya.
Ashov menduga cepatnya revisi UU Minerba hingga akhirnya disahkan dipengaruhi beberapa hal, antara lain karena harga yang semakin jatuh dan permintaan bahan tambang yang semakin menurun.
Ia lantas mengaitkan kondisi tersebut dengan utang perusahaan tambang dari segi obligasi atau utang ke bank di dalam dan luar negeri.
“Catatan kami, utang perusahaan tambang mencapai US$ 6,9 miliar atau sekitar Rp100 triliun hingga tahun 2022. Dengan kesulitan keuangan tersebut dan krisis pandemi dan permintaan menurun perusahaan tambang dalam membayar utang jelas mengalami kesulitan,” katanya.
Menurut Ashov, untuk mengatasi masalah tersebut perusahaan tambah bisa mengambil langkah logis melakukan refinancing. Sementara syarat utama refinancing ialah perpanjangan izin. Diketahui banyak perusahaan tambang yang masa operasinya hampir jatuh tempo.
“Sehingga kami mendapatkan kesan perusahaan tambang seolah-olah diberikan karpet merah dengan berbagai modus UU Minerba,” ujarnya.
Karena alasan tersebut, Ashov mengatakan sangat penting bagi pemerintah untuk membuka data dan informasi terkait pertambangan sehingga masyarakat tahu dampak apa yang bisa saja terjadi. Keterbukaan informasi juga menghindari resiko sekelompok pihak yang mengambil keuntungan sendiri.
“Yang kita hindari moral hazard yakni jika hanya dua pihak yang tahu, risiko luar biasa sangat mungkin mengambil keputusan menguntungkan mereka saja dan tidak memberikan ruang aspirasi bagi masyarakat terdampak,” katanya.
Sementara, Koalisi #BersihkanIndonesia yang terdiri atas JATAM, WALHI Kalsel, JATAM Kaltim, dan Trend Asia, mendorong Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membuka dokumen Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) milik PT Arutmin, PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Berau Coal (BC), PT Kideco Jaya Agung (KJA), dan PT Multi Harapan Utama (MHU).
Selain itu, koalisi juga meminta pemerintah membuka daftar nama tim yang melakukan evaluasi, perkembangan evaluasi hingga instrumen evaluasi yang digunakan.
“Karena itulah kami merasa penting untuk mendesak pemerintah transparan, terbuka pada publik, terutama bagi masyarakat yang mengalami dampak buruk akibat operasi perusahaanperusahaan pertambangan tersebut,” ujar Dinamisator JATAM Kaltim, Pradarma Rupang dalam keterangan resmi.
Rupang mengatakan sesuai UU Keterbukaan Informasi Publik, data-data tersebut termasuk dalam kategori data publik yang dapat kapan saja diakses dan dibuka pada masyarakat luas.
“Kami juga ingin tahu apakah masyarakat juga diajak bicara saat melakukan evaluasi termasuk siapa saja daftar nama tim evaluatornya, apa ada anggota tim yang konflik kepentingan, apakah melibatkan wakil dan komponen masyarakat korban, seberapa independen tim ini?” katanya.
(ctr/fra)