Jakarta, CNN Indonesia — Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan pihaknya tengah mengupayakan agar proyek gasifikasi batu bara tak membuat anggaran subsidi energi membengkak.
Pasalnya, sejumlah kajian memang menunjukkan biaya gasifikasi batu bara untuk menghasilkan dimetil eter (DME) membutuhkan biaya yang besar.
“Pemerintah pun menyampaikan jangan sampai seperti sebelumnya kita melakukan konversi dari minyak tanah ke LPG, ini kemudian subsidinya meningkat. Ini yang kami hindari juga, sehingga kita hitung betul biaya dari hulu ke hilir,” ujarnya dalam rapat di Komisi VII DPR, Senin (31/5).
Baca juga: Syarat dan Cara Bangun SPBU Mini, Modal Rp250 Juta
Nicke menuturkan salah satu upaya yang telah dilakukan Pertamina adalah bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menjamin produk hulu ke hilir rendah biaya.
Di sisi hulu, Pertamina bekerja sama dengan perusahaan batu bara domestik seperti PT Adaro Energy Tbk dan PT Indika Energy Tbk untuk menjamin pasokan bahan baku.
Kedua, menggandeng beberapa perusahaan agar dapat mengubah batu bara menjadi syngas hingga dimetil eter dengan efisien. Ketiga memanfaatkan infrastruktur yang telah dimiliki perusahaan dalam proses distribusi.
“Jadi kita tidak pecah-pecah upstream, midstream, downstream ini supaya harganya atau profitabilitas tidak besar. Jadi kita atur sedemikian rupa. Karena pemerintah wanti-wanti jangan sampai ada kenaikan subsidinya,” jelasnya.
Baca juga: Harga Gas Naik, Subsidi LPG 3 Kg Melonjak Awal 2021
Pertamina, lanjut Nicke, juga tengah mengkaji berbagai aspek teknis untuk dapat menekan biaya produksi batu bara menjadi DME. Salah satunya terkait infrastruktur mana saja yang perlu ditambah atau menggunakan yang sudah ada.
“Sehingga dari ini kita tidak perlu membangun infrastruktur baru. Kita bisa menggunakan infrastruktur yang ada tetapi yang non steel-nya ini kemudian kita ganti sehingga tidak memakan investasi yang besar. Kapal, Pipa, dan juga terminal itu masih bisa kita gunakan,” jelasnya.
Nicke juga memastikan, jika nantinya efisiensi tersebut tetap membuat gasifikasi batu bara tak bisa lebih murah atau sama dengan biaya impor LPG, proyek tersebut akan tetap dijalankan untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia.
“Karena 70 persen LPG hari ini impor. Sehingga kami mencari substitusi yang barangnya ada di dalam negeri dan banyak dimiliki Indonesia. Even nanti harganya pun sama dengan impor LPG ini berpengaruh terhadap CAD. Karena diproduksi dalam negeri sehingga juga akan memberikan multiplier effect baik bagi pertumbuhan investasi, penyerapan tenaga kerja dan perekonomian nasional,” pungkasnya.
(hrf/age)